![]() |
Sumber gambar : http://pontianak.tribunnews.com/ |
Dalam
RUU Pilkada tersebut dimuat aturan main ihwal ketentuan calon kepala daerah
baik itu untuk calon gubernur ataupun calon bupati/walikota, yang salah satu
ketentuannya mensyaratkan tidak boleh memiliki ikatan keluarga dengan kepala
daerah petahana (incumbent).
Untuk calon gubernur, ketentuan tersebut
tercantum pada pasal 12 huruf p yang berbunyi: tidak mempunyai ikatan perkawinan,
garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur,
kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan; sedangkan untuk calon
bupati/walikota, termaktub pada pasal 70 huruf p yang berbunyi: tidak
mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke
samping dengan gubernur dan bupati/walikota, kecuali ada selang waktu minimal
satu masa jabatan;
Kebijakan itu diambil oleh pemerintah antara
lain bertujuan untuk mencegah campur tangan kepala daerah kepada para pegawai pemerintahan
daerah dari kepentingan untuk lebih memihak terhadap calon yang memiliki ikatan
keluarga dengannya. Seperti yang disampaikan oleh Mendagri Gamawan Fauzi dalam
siaran pers di Puspen Kemendagri, Sabtu (9/6/2012), "Desain ini mampu
menjamin suatu kompetisi dimana seorang kepala daerah tidak bisa memobilisasi
jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki
hubungan darah atau perkawinan dengan yang bersangkutan. Demikian pula halnya, desain ini mampu menciptakan suatu postur
birokrasi yang netral sebagai akibat tidak adanya tekanan dari penguasa
petahana."
Selain itu pula, langkah ini ditempuh untuk
menjegal terjadinya dinasti politik di daerah yang bersifat oligarki (pemerintahan
yg dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok
tertentu), "Maka demokrasi yang demikian itu hanya akan terjebak dalam
lingkaran liberalistis yang melanggengkan suatu kekuasaan yang memiliki kuasa
atas sumber kekuatan politik maupun finansial. Sementara kekuasaan yang
langgeng cenderung koruptif, kolutif dan nepotis negatif, sehingga tujuan
demokrasi yang menjunjung tinggi kesetaraan dalam kompetisi menjadi tinggal
slogan simbolik semata," terang Gamawan yang juga mantan Gubernur Sumatera
Barat ini.
Sudah bukan rahasia lagi, dinasti politik sudah
menjamur di berbagai daerah di Indonesia, kini seolah-olah tampak
“kerajaan-kerajaan” kecil di daerah. Bahkan ada di satu provinsi, keluarga
gubernur mendominasi bupati/walikota di provinsi tersebut.
PRO-KONTRA
Tak
ayal, gagasan pemerintah yang dituang dalam RUU Pilkada ini menuai berbagai
pendapat. Deputi Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Veri Junaidi menilai aturan baru tersebut rentan digugat ke Mahkamah Konstitusi,
karena melanggar Undang-Undang Dasar 1945, serta bahwa hak dicalonkan dan
mencalonkan diri sebagai kepala daerah merupakan hak asasi manusia. Dengan
demikian, tidak sewajarnya hak-hak itu dimatikan. “Siapa sih yang minta
dilahirkan sebagai kerabat kepala daerah?” kata Veri seperti yang dimuat di halaman
tempo.co.
Nada
serupa disampaikan pula oleh Walikota Serang Tb Haerul Jaman, rencana untuk
pencalonan kembali pada Pilkada Kota Serang tahun 2013 bisa terjegal bila RUU
Pilkada disahkan akhir tahun ini dan diberlakukan pada 2013, seperti diketahui
Tb Haerul Jaman dengan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah berasal dari satu
ayah yaitu almarhum Tb Chasan Sochib. Jaman menilai RUU Pilkada ini tidak
demokratis, “Tentu tidak demokratis karena menghambat seseorang maju dalam
pilkada. Padahal, katanya Indonesia adalah negara yang demokratis.” ujarnya
yang dimuat di radarbanten.com.
Di
lain pihak, Anggota Komisi II DPR Abdul Malik Haramain mendukung usulan
pemerintah mengenai aturan pencalonan keluarga kepala daerah petahana ini,
tujuannya untuk mengantisipasi kemungkinan kepala daerah melakukan kecurangan.
“Karena sudah pasti kalau istri, suami, kakak, atau saudara dekatnya maju pasti
berpihak, Pasti terjadi (kecurangan) dan tak terhindarkan,” ujar anggota dari
fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.
Larangan
pencalonan keluarga kepala daerah petahana ini, sejatinya bukan untuk memberangus
hak warga negara untuk mencalonkan atau dicalonkan menjadi kepala daerah, melainkan
untuk memberikan jeda waktu satu periode (5 tahun), agar tidak terjadi
kecurigaan adanya intervensi atau kecurangan dari kepala daerah petahana.
Menjadi
tantangan bagi DPR yang kini tengah menggodok RUU Pilkada, mencari aturan main yang terbaik dalam
penyelenggaraan Pilkada, tanpa merugikan pihak manapun, dan menyempurnakannya agar
lebih baik dari sebelumnya.
Menyoal
aturan larangan pencalonan keluarga kepala daerah petahana, apakah aturan ini
akan berlaku juga untuk larangan pencalonan keluarga presiden petahana di UU
Pemilihan Presiden (Pilpres) nanti? Ah, sepertinya agar adil harus berlaku juga
peribahasa “duduk sama rendah, tegak
sama tinggi.”
Post a comment